Selain itu, dakwah Islam selain memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas juga membutuhkan pendanaan yang memadai sehingga kegiatan dakwah dapat terlaksana dengan mencapai hasil yang maksimal. Generasi awal umat ini telah menjadi bukti tak terbantahkan tentang kekuatan shadaqah yang turut mendukung terwujudnya masa Islam yang gemilang. Simaklah bagaimana para sahabat Rasulullah saling berlomba dalam bershadaqah, Abu Bakar membawa semua hartanya sewaktu hijrah demi perjuangan Islam, Abdurrahman bin ‘Auf pernah menginfakkan separuh hartanya, lalu menambahinya dengan empat puluh ribu dinar, lalu ditambahi dengan lima rastu ekor kuda dan lima ratus ekor onta. Sementara Ustman bin Affan menyumbang seribu dinar untuk persiapan perang meskipun sedang masa paceklik. Menyambut apa yang dilakukan Utsman ini Rasulullah bersabda, “Utsman tidak akan melarat karena apa yang dikerjakannya setelah ini,” beliau mengulanginya beberapa kali.
Ya, sesungguhnya zakat, infak, shadaqah maupun wakaf bukanlah pengeluaran (cost), tetapi itu semua adalah investasi akhirat yang tiada pernah akan mengalami kerugian, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Faathir [35]: 29)
Rasulullah menjelaskan bahwa harta yang kita miliki hanyalah apa yang kita makan sampai habis, kita kenakan sampai lusuh dan kita belanjakan di jalan Allah. Selain yang demikian itu sebenarnya bukan miliki kita, karena bisa jadi ia diambil lagi oleh Allah tanpa sempat kita memanfaatkannya atau ia berpindah kepada orang lain. Maka bila kita ingin harta kita abadi dan dapat memberikan keuntungan terus-menerus jangan ragu lagi, shadaqahkanlah di jalan Allah.
Besarnya Pahala Shadaqah
“Shadaqahkan sebagian harta Anda, kepada orang lain niscaya Anda akan dilapangkan dari kesempitan, dimudahkan dari kesulitan, dihindarkan dari kedukaan. Dan, Anda akan memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat.” Tidak masuk akal! Mungkin itu ucapan yang pertama kali terlontar dari mulut kita. Kita butuh uang, mengapa justru kita memberikan uang kepada orang lain, yang tidak memberikan keuntungan apa-apa pada diri kita? Memang, yang lebih logis kalau kita menginvestasikan harta kita untuk membeli saham, mendeposito di bank yang memungkinkan harta kita akan bertambah.
Untuk tahu jawabnya, mari kita cermati matematika shadaqah yang di uraikan Ust. Yusuf Mansur. Menurut logika 10-1 = 9, tetapi tidak untuk shadaqah. 10-1 = 19. Ya, karena satu shadaqah yang kita belanjakan di jalan Allah akan dilipatgandakan minimal menjadi 10 kali lipat, sedangkan harta yang tidak kita infakkan, akan tetap nilainya.
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An'aam [6]: 160)
Besarnya pahala itu menjadi hak Allah untuk menentukannya. Bahkan adakalanya dilipatgandakan sampai 700 kali. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 261)
Imam Muslim mentakhrij dari Abu Mas’ud ra. ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang sambil membawa seekor onta yang diberangus, seraya berkata, “Onta ini aku shadaqahkan untuk jalan Allah.”
Beliau bersabda, “Pada hari kiamat engkau akan mendapatkan tujuh ratus onta yang serupa dengannya, yang semuanya dalam keadaan diberangus.”
Selain itu, shadaqah juga mendatangkan banyak kemanfaatan, antara lain, menghapuskan dosa, mempererat silaturahmi dan kasih sayang, mendatangkan ridha Allah sehingga memudahkan kita untuk mendapat pertolongan-Nya.
Hakikat Harta
Seringkali kita menganggap semua yang ada dalam kekuasaan kita merupakan harta yang kita miliki. Padahal apa saja yang belum kita pakai sebetulnya bukan harta kita. Uang yang kita simpan di bank belum tentu menjadi milik kita, bisa jadi bank kena likuidasi, atau rekening kita dibobol orang. Begitu juga rumah, perhiasan, semuanya bisa lenyap dalam sekejapan mata. Harta kita adalah apa yang kita makan, kita pakai. Dan kita shadaqahkan, maka dia akan kekal dan akan memberi manfaat terus-menerus untuk kita.
Sebagaimana sabda Rasulullah, “Ketahuilah bahwa harta milik sendiri yaitu harta (uang) yang sudah diamalkan dan dipakai keperluannya, sedangkan harta warisan yaitu harta yang belum dipakai (masih disimpan).” (HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud)
Suatu ketika para sahabat menyembelih kambing, lalu Nabi bersabda, ‘Apa yang tersisa darinya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Tiada yang tersisa, kecuali sampil mukanya.’ Sabdanya pula, ‘Berarti semuanya tetap ada, kecuali sampil muka yang tidak tetap.” (HR. Tirmidzi)
Maksudnya apapun yang dishadaqahkan akan tetap ada di akhirat kelak, atau Allah menggantinya di dunia dengan penggantian yang lain, yang terkadang tidak kita sadari. Sebaliknya sampil yang tidak dishadaqahkan akan habis setelah dimakan dan tidak mendatangkan pahala.
Pahala dari shadaqah itu akan terus bertambah, menggunung tinggi. “Barangsiapa shadaqah sebesar biji kurma dari hasil kerja halal, dan Allah tidak menerima, kecuali dari kerja yang halal, maka Allah akan menerima shadaqah itu dengan tangan kananNya, lalu menjaganya baik-baik, seperti orang menjaga anak kuda hingga sebesar bukit.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)
Jelaslah bahwa seorang yang dengan ikhlas bershadaqah tidak akan pernah rugi. Sebaliknya Allah akan mengganti harta yang dishadaqahkan itu dengan yang lebih baik.
Pengelolaan ZIS dan Wakaf, dari Konsumtif ke Produktif
Sebetulnya kekuatan umat Islam sangat menakjubkan, meskpiun konon secara ekonomi berada di bawah umat lain, tetapi bila kita mencermati kekuatan kolektif yang dapat dipersatukan maka akan kita temui hal yang mengagumkan. Misal, saat ini umat Islam di Kecamatan Minggir jumlahnya lebih dari 26.000 jiwa, jika dalam satu bulan saja mereka dapat menyisihkan uang sebanyak Rp 1000, maka akan dapat dikumpulkan dana sebanyak Rp. 26 juta per bulan. Sebuah jumlah yang luar biasa dan barangkali tidak pernah kita perhitungkan.
Dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk mendirikan sebuah badan usaha guna mencukupi kebutuhan umat Islam sehingga mampu kuat secara ekonomi, mendirikan kios-kios untuk disewakan atau usaha produktif lainnya. Selebihnya dapat digunakan menggaji seorang ulama yang memang bersedia mencurahkan hidupnya dalam gerak dakwah di Kecamatan Minggir sehingga akan lebih fokus dan tertata dengan rapi dan sistematis.
Selama ini ZIS dan Wakaf masih untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif dan kebanyakan lebih ditujukan guna pembangunan fisik. Padahal pembagunan dalam segi ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan, pendidikan dan semacamnya jauh lebih memberikan efek yang positif sekaligus sebagai investasi terbentuknya generasi yang mau dan mampu menjadi motor dakwah di Kecamatan Minggir. Maka sangat diperlukan adanya Lembaga ZISWAF yang melingkupi wilayah satu kecamatan, karena akan lebih adil dalam distribusi, kuat pengelolaannya dan dapat meningkatkan ukhuwah Islamiyah.
Kita dapat belajar dari pengelolaan ZISWAF (Zakat Infak Shadaqah Wakaf) pada masa khalifah ‘Umar, saat Islam mencapai kemakmuran yang mengagumkan. Pada masa itu pengelolaan dana di Baitul Maal dioptimalkan untuk kepentingan umat, sehingga dana yang ada tidak hanya tersimpan. Bahkan tanah-tanah wakaf juga digunakan untuk usaha produktif.
Islam sangat menganjurkan produktifitas dari segala kepemilikan yang dimiliki oleh seorang Muslim. Termasuk produktifitas dari tanah juga perlu diperhatikan. Kaum Muslimin diperintahkan untuk mengelola semaksimal mungkin tanah-tanah yang mereka miliki, termasuk tanah yang belum ada pemiliknya.
Seorang sahabat Nabi, Bilal bin Harits, pernah mendatangi Nabi untuk meminta sebidang tanah yang luas. Nabi memberinya sebagai iqtha’ (yakni pemberian tanah untuk dikelola agar lebih produktif serta mendatangkan keuntungan bagi negara). Namun semasa Khalifah ‘Umar tanah tersebut diminta kembali karena Bilal dianggap gagal mengelolanya. Khalifah ‘Umar menetapkan tiga tahun untuk membuka tanah, jika seseorang tidak mengelolanya maka orang lain berhak menanaminya.
Bukan hanya itu saja, tetapi Khalifah ‘Umar juga memerintahkan kepada para Gubernurnya untuk meningkatkan produktifitas atas tanah yang dapat dikelola, beliau menulis surat kepada salah seorang gubernurnya;
“Perhatikanlah tanah Negara di propinsimu dan bagikanlah tanah itu dengan syarat pembagian setengah dari hasil panen atau kurang, dengan mengurangi bagian Negara hingga sepersepuluh. Namun, jika tanah tersebut terlalu tandus sehingga tak seorang pun mau menanaminya meskipun hanya dengan pembagian sepersepuluh, maka berikanlah tanah itu tanpa syarat. Sekirannya masih tak ada seorang pun yang menanaminya, maka biayailah penanamannya dari Baitul Maal sehingga tidak ada tanah yang ada dalam kendalimu sia-sia.”
Penekanan yang begitu besar terhadap tanah pertanian dapat dipahami karena pada masa itu sektor pertanian menjadi salah satu tumpuan utama masyarakat Islam. Pada konteks sekarang harus dipahami bahwa seorang Muslim harus mengoptimalkan atau mendayagunakan semua kepemilikannya agar setidaknya bernilai ekonomis demi kepentingan bersama.
“Siapa yang memiliki tanah hendaklah ditanaminya. Jika dia tidak sanggup menanaminya sendiri maka hendaklah disuruhnya saudaranya menanami.” (Mukhtasar Sahih Muslim)
Kisah di atas adalah potret perlunya pemberdayaan ZISWAF agar lebih produktif dan dapat mendatangkan manfaat sebesar-besarnya kepada umat Islam.
Jangan Menunda untuk Bershadaqah
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali 'Imran [3]: 180)
Menunda bershadaqah sama artinya dengan mengahalangi keuntungan yang lebih banyak dari harta kita. Sesungguhnya kita tidak tahu apakah besok atau lusa masih mempunyai harta, karenanya Rasulullah pernah mengingatkan, ‘Gunakanlah masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” Yang lebih tragis jika penundaan bershadaqah itu didahului oleh ajal yang bisa datang setiap saat. Hingga keinginan itu hanya akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Allah mengisahkan penyesalan mereka itu dalam catatan yang abadi, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (Al Munaafiquun [63]: 10)
Itulah penyesalan yang sudah tiada berguna. Suatu pertaubatan yang terlambat. Tidak cukupkah semua itu menjadi peringatan bagi kita? Wallahu’alam bi shawwab. [eko]
Beberapa Hal yang Perlu diperhatikan dalam bershadaqah!
1. Memberikan sesuatu yang terbaik yang kita miliki. Bukan sesuatu yang sudah tidak kita senangi apalagi yang sudah tidak kita butuhkan.
2. Lebih utama memulainya dari kerabat atau keluarga dekat, karena akan mengokohkan hubungan keluarga.
3. Shadaqah tidak harus berupa uang, tetapi apa saja yang dapat memberi manfaat kepada orang lain ataupun dalam perjuangan Islam.
4. Semata mencari keridhaan Allah, bukan untuk mengharap simpati orang lain, mencari popularitas dan semacamnya karena semua itu justru menjauhkan kita dari manfaat shadaqah sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar