Sejumlah lelaki dan Perempuan
Berkumpul di sebuah perbukitan
Walaupun jauh dalam perjalanan
Untuk keimanan yang dinyatakan
Setelah berita yang tak terbantahkan
Datangnya Nabi Rasul akhir jaman
-- Hijrah, karya Bilal Basyir--
Bukan semarak kembang api, lengkingan terompet, meriahnya pesta atau gemuruh dendang yang pantas diperbuat seorang Muslim tiap kali menyambut hadirnya tahun baru. Tapi, kesadaran tentang usia yang kian berkurang. Kemauan untuk mengevaluasi diri. Atau dalam istilah Umar bin Khattab ra., hasibu anfusakum qobla an tuhasabu, hisablah dirimu sebelum engkau dihisab pada hari akhir. Dan, menata hidup ke depan dengan setumpuk rencana perbaikan diri. Tentu setelah itu harus meruah kepada keluarga, umat, dan masyarakat. Karena sejak semula Islam diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh alam. Bukan hanya menjadi milik mereka yang rajin memperbaiki diri dengan meninggalkan realitas di sekitarnya.
Hijrah adalah Sebuah Pemisah
Dari peristiwa hijrah Rasulullah meninggalkan Mekkah ke Madinah kita bisa mengambil banyak pelajaran. Bagaimana visi beliau dalam membuat sebuah rencana besar demi keberhasilan dakwah yang diinginkan. Berpikir jauh ke depan, melewati batas-batas yang diperkirakan kafir Quraisy. Lebih dari itu, peristiwa hijrah ibarat jaring pemisah. Memisahkan mereka yang mencintai keimanan, dengan yang lebih mencintai harta kekayaan duniawi. Memisahkan mereka yang mengaku: kami telah beriman! sebatas di bibir. Dengan mereka yang penuh kesungguhan mempertahankannya. Hijrah juga memisahkan mereka bertujuan hidup untuk masa sekarang (dunia), dengan mereka yang menggantungkan kebahagiaan di masa mendatang (akhirat). Ya, hijrah sesungguhnya menjadi pemisah, tidak semata karena batas wilayah tapi perjuangan demi menjaga akidah.
Menghargai Waktu yang Sangat Berarti
Setiap pergantian tahun sadar atau tidak, kita telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yakni kesempatan untuk beramal. Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata, “Tahun ibarat pohon, bulan-bulan laksana cabang-cabangnya, hari-hari sebagai rantingnya, jam-jam sebagai daun-daunnya dan nafas-nafas kita buahnya. Barangsiapa yang nafas-nafasnya selalu dalam ketaatan, maka orang itu telah menanam pohon yang baik.”
Sementara Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian berada dalam perputaran siang dan malam, dalam rangkaian masa hidup yang kian berkurang dan di tengah beragam amal yang tidak luput dari catatan, sementara maut datang mengagetkan. Barangsiapa yang menanam kebajikan, ia nyaris akan mengetam buahnya, dan siapa saja yang menanam kejahatan, ia nyaris memetik penyesalan, dan setiap orang yang menanam, ia akan memeroleh sesuai apa yang ditanamnya. Orang yang lamban menanam kebajikan, ia tidak akan segera menikamati hasilnya, dan si rakus tidak akan mendapatkan keberuntungan yang memang tidak disediakan baginya.”
Begitulah, waktu yang kita miliki adalah sebuah bejana kosong. Kita yang harus mengisinya dengan amal-amal yang kita kerjakan. Siapa mengisi dengan kebaikan niscaya ia akan menikmatinya. Sebaliknya siapa mengisi dengan keburukkan, maka semua itu akan berpulang kembali kepadanya. “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).” (53. An Najm [53]: 31)
Tak Ada Pencerahan Tanpa Kesungguhan
Bilakah pertolongan Allah itu akan datang? Tanya itu kerap mencuat dalam benak kita. Melihat keadaan kaum Muslimin yang belum juga mampu keluar dari berbagai persoalan yang terus mendera: kemiskinan, kebodohan dan penindasan. Belum lagi hantaman arus globalisasi yang merapuhkan sendi-sendi aqidah dan akhlak. Sementara waktu terus berjalan. Hari berganti. Tahun pun berlalu. Sedangkan janji Allah telah pasti. Inna nashrullahi qa riib, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Benar. Pertolongan Allah itu dekat. Seperti juga Allah, yang memang lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Tetapi pertolongan itu hanya diperuntukan bagi mereka yang telah memenuhi syarat. Mereka memiliki keimanan yang akarnya menghunjam ke dalam hati, batangnya menjulang tinggi, dan buahnya memberi manfaat bagi sekitarnya. Mereka yang dengan sungguh-sungguh menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Seperti golongan ini, “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (Ali ‘Imran [3]: 123)
Mereka lemah ketika itu, jumlahnya tidak sebanding dengan pasukan musuh. Perbekalan mereka sangat terbatas. Tapi soal semangat dan keimanan, mereka tak perlu diragukan. Jika para kafir Quraisy begitu takut dengan maut, pasukan itu justru senang menjemput kematian. Mereka berlomba, berlari menjemput syahid! Semua itu karena mereka memiliki keyakinan yang diwujudkan melalui kesungguhan dalam berjuang menegakkan Islam.
Kita ini, yang hidup berpuluh abad sesudahnya juga memiliki tugas yang sama: menegakkan Islam. Melalui kerja-kerja yang kita lakukan, melalui dakwah yang terus disebarkan. Maka semestinyalah semua itu digerakkan oleh keyakinan yang kuat dan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Mengoptimalkan seluruh potensi yang ada demi tercapainya tujuan dakwah. “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Al Anfaal [8]: 60)
Selain itu, dakwah juga memerlukan suatu perencanaan dan penataan. Kita butuh orang-orang yang bukan sekedar pintar dan ‘alim tapi juga butuh orang yang mau ditata. Karena kebenaran yang rapuh dapat dihancurkan oleh kebatilan yang terorganisir secara rapi. Ukhuwah islamiyah dan imaniyah menjadi kata kunci yang tidak bisa dibantah. Banyaknya umat belum menjamin kemudahan dalam meraih kemenangan. Selama umat Islam masih seperti buih yang mudah diombang-ambingkan ombak. Alquran telah mengisyaratkan ini, “Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." Al Baqarah [2]: 249
Untuk itulah, seiring tahun yang terus berganti, diperlukan keseriusan dalam menata barisan ini. Barisan dakwah yang menggelorakan semangat amar ma’ruf nahi munkar. Barisan yang telah mengikatkan diri pada satu tali yang kukuh, yakni tauhid. La ila ha illallah muhamma dar rasulullah. Wallahu ‘alam bi shawwab. [eko]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar