Media Komunikasi Informasi dan Dakwah --- Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Minggir -- Fastabiqul Khairat .

Label

Minggu, 31 Oktober 2010

CINTA DI ATAS CINTA

Carilah cinta yang sejati
Yang ada hanyalah pada-Nya
Carilah cinta yang hakiki
Yang hanya pada-Nya yang Esa
Carilah cinta yang abadi
Yang ada hanya pada-Nya
Carilah kasih yang kekal selamanya
Yang ada hanyalah pada Tuhanmu
(Raihan, Carilah Cinta)


Ibrahim Khalilullah

Ibrahim adalah kekasih Allah. Seperti tersurat dalam QS An Nisa’ [4]: 125, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Dialah nabi yang mendapat gelar khalilullah. Itu semua disematkan kepada Nabi Ibrahim karena beliau telah mampu melewati berbagai ujian yang berat. Ujian terhadap keimanannya. Ujian terhadap kadar cintanya kepada Allah. Ibrahim mampu memposisikan kecintaannya kepada Allah di atas segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi.
Awalnya, untuk menemukan Sang Kekasih, Ibrahim mesti melewati proses pencarian yang panjang. Ia berusaha mengenal Sang Kekasih di tengah kepungan adat kaumnya yang saat itu menyembah berhala. Semula ia menganggap bintang sebagai Tuhan. Lalu bulan dan matahari. Tapi masing-masing hilang berganti seiring berputarnya waktu. Sampai akhirnya ia berkesimpulan, Kekasih yang ia cari adalah pencipta dari bintang, bulan, matahari dan alam semesta ini. Begitulah, cinta itu tumbuh melalui pencarian melelahkan, tapi dari sanalah keimanan itu menjadi berkesan dan terpatri dalam hati.




Melewati Berbagai Ujian

Saat kebenaran sudah ia dapatkan. Ujian demi ujian datang silih berganti. Sang Kekasih ingin menguji kadar kecintaan Ibrahim. Seperti juga iman yang tak sempurna tanpa amaliyah. Cinta pun butuh pembuktian. Cinta perlu pengorbanan! Mula-mula Ibrahim diuji harus berpisah dengan keluarga. Ayahnya, Adzar, yang saat itu masih menyembah berhala tetap enggan beriman bahkan memberikan suatu pilihan pahit, “Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam [19]: 46)
Ibrahim harus memilih, berkumpul dengan keluarga dalam kekafiran, atau pergi membawa keimanan. Dengan penuh haru, opsi kedualah yang dipilih: berpisah dengan keluarga. Cinta kepada Allah telah mengalahkan kecintaannya kepada keluarga.

Waktu bergulir. Seiring keimanan yang tumbuh subur dalam jiwa. Kecerdasan seorang Ibrahim pun terus berkembang. Hingga satu ketika dengan penuh keberanian, ia berusaha menghancurkan lambang kekafiran kaumnya. Ia robohkan semua berhala yang biasa disembah pada masa itu, kecuali satu. Sengaja ia memilih berhala yang paling besar agar tetap utuh dan dikalunginya dengan kapak. Saat kaumnya dengan penuh kemarahan mengintrogasi Ibrahim, ia berucap, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara." (Al Anbiyaa' [21]: 63)

Itulah jawaban seorang pemuda yang memadukan keimanan, keberanian dan kecerdasan. Lebih dari itu, dalam peristiwa tersebut Ibrahim telah siap mengorbankan diri dan jiwanya demi kecintaannya kepada Allah. Ibrahim paham betul resiko dari apa yang ia lakukan. Tapi cinta kepada Allah telah menghapus segala ketakutan itu. Pengorbanan dan cinta itu kemudian dibalas tunai oleh Sang Kekasih, yang tidak rela Ibrahim dianiaya,
“Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” ( Al Ankabut [29]: 24)

Ujian terhadap kecintaan kepada Sang Kekasih terus berlanjut meskipun telah memasuki bahtera rumah tangga. Pernikahan pertamanya dengan Sarah, belum juga diberi keturunan. Padahal usianya telah menginjak senja. Tanpa putus asa dia terus berdoa. Memohon kepada Sang Kekasih Yang Maha Kaya. Sampai tibalah ia harus menikah dengan Hajar. Dari Hajar inilah kemudian Allah mengamanahkan seorang anak yang shaleh bernama Ismail. Ismail tumbuh menjadi pemuda yang beriman. Menjadi harapan untuk melanjutkan estafet dakwah dan penyeru kebenaran. Saat kecintaan dan kebahagiaan itu mencapai puncak. Sang Kekasih kembali ingin menguji kadar cinta Ibrahim. Turunlah perintah melalui mimpi, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (Ash Shaaffaat [37]: 102)

Dan Ismail, sang putra yang shaleh itu menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash Shaaffaat [37]: 102)
Sebuah percakapan yang memilukan. Tetapi sekali lagi cinta itu bekerja. Kekuatan cinta kepada Allah sanggup mengalahkan segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi. Keimanan mampu melumpuhkan tipu daya setan, kesabaran bisa menundukkan hawa nafsu. Ismail pun dikurbankan. Tetapi kembali, Sang Kekasih, yang telah menyaksikan pengorbanan Ibrahim sebagai bukti kadar kecintaannya, menunjukkan kemurahan-Nya. Ismail diganti dengan ghibas. Peristiwa tersebut kemudian diperingati tiap tahun dalam bentuk penyembelihan hewan qurban. Selain itu Nabi Ibrahim juga diberi kelebihan yakni menjadi bapak para nabi, karena banyak dari keturunan beliau yang kemudian diangkat menjadi nabi, antara lain Ismail, Ishak sampai Musa dan Muhammad Saw.


Hakikat Qurban dan Kemauan Berbagi

Kisah Ibrahim dan Ismail menjadi tonggak awal disyariatkannya qurban. Lambang kemenangan iman atas hawa nafsu. Kemengan cinta kepada Allah atas cinta kepada selainNya.
Qurraba, itulah asal kata dari qurban yang bermakna mendekat. Mendekat kepada Allah. Mendekat kepada pemilik semua nikmat dengan cara menafkahkan sebagian dari rizki yang kita cintai dalam bentuk binatang qurban. Hewan yang kita qurbankan hanyalah sarana menuju kedekatan itu. Ia tidak bermakna apa-apa saat kita meniatkannya hanya untuk tujuan-tujuan jangka pendek yang bersifat duniawi. Ketenaran, penghormatan, sanjungan dan puja-puji dari sesama manusia. Apalagi sekedar ‘program perbaikan gizi’. Karena sesungguhnya yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah qurban itu, namun ketakwaan. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj [22]: 37)

Qurban harus dilandasi takwa. Sebagai wujud kepatuhan kepada perintah Allah serta bentuk kesyukuran atas karunia Allah yang tak berputus. Inilah hakikat qurban secara vertikal, dalam mewujudkan hablum minallah. Kedekatan hamba dengan Sang Pencipta.
Selain itu, qurban juga melatih kepedulian. Mengajak kepada manusia agar bersedia berbagi. Karena berbagi itu terangkan hati. Berbagi itu investasi tak kenal rugi. Tabungan amal yang suatu saat akan terbalas. Ibadah qurban mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama. Mempertajam kepekaan sosial. Di sinilah hakikat qurban secara horizontal sebagai bagian membumikan hablumminannas. Keharmonisan hubungan antar sesama manusia.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al Hajj [22]: 28)
Bila dengan qurban itu, seorang hamba mampu memupus hawa nafsu yang selalu mengajak untuk mencintai dunia secara berlebihan, berarti ia telah mampu membuktikan kadar ketakwaannya. Bila dengan qurban itu seorang hamba kemudian lebih peka terhadap keadaan sosial dan kondisi saudaranya, itu pertanda ia sudah bisa mengerti hakikat qurban sesungguhnya. Tanpa itu semua, qurban hanya akan menjadi rutinitas tiap tahun tanpa ruh dan tanpa makna.

Khatimah

Episode demi episode cinta yang telah dijalani Nabi Ibrahim menjadi bukti hakikat cinta yang sejati. Cinta tak berakhir. Cinta yang pasti terbalas sempurna, bahkan lebih dari apa yang telah diberikan. Cinta yang tidak menyisakan kecewa, apalagi kepedihan. Itulah cinta Allah. Cinta di atas cinta. Dan semestinya begitu seorang Mukmin menjalaninya.
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At Taubah [9]: 24)
Jika di hatimu ada cinta, dengarkanlah seruan dari Sang Kekasih Yang Maha Sempurna. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Al Kautsar [108]: 2)
Wallahu a’lam bishawwab

Selasa, 19 Oktober 2010

Tangga-Tangga Meraih Keberhasilan

“Tiap-tiap diri itu dibalas sesuai dengan apa yang ia usahakan.” (Thaahaa [20]: 15)

Bekerja untuk kehidupan dunia merupakan salah satu kewajiban setiap muslim setelah melaksanakan ibadah wajib (fardhlu). Islam memerintahkan umatnya untuk selalu mempersiapkan bekal akherat. Tetapi Islam tidak menginginkan hal itu dilakukan secara berlebihan hingga melupakan kebahagiaan hidup di dunia. Maka setiap Muslim dianjurkan agar tekun dan rajin dalam bekerja mencari penghidupan dunia. Keduanya harus berjalan selaras, Islam tidak ingin umatnya berada dalam kemiskinan dan kebodohan dengan dalih mencapai keshalehan individu.

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan akhirat), dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi.” (Al-Qashash [28]: 77)

Bekerja untuk kepentingan dunia dalam pandnagan Islam bisa juga dinilai sebgai ibadah. Kerja yang dimaksud bukanlah dengan sekehendak hati ataupun hanya memburu kesenangan sesaat. Ada adab serta tata cara yang mesti dipatuhi agar hasil kerja yang dilakukan dapat mencapai nilai maksimal dan bermanfaat bukan saja di dunia tetapi juga menjadi amal bagi kehidupan kelak di akherat.



Pertama, mengawali dengan niat yang baik.
Dalam sebuah hadits disebutkan amal itu tergantung pada niatnya. Untuk itu bekerja pun harus dengan niat yang benar, yakni mencari ridha Allah semata. Paling tidak diawali dengan membaca bacaan Basmalah atau membaca do’a. Dalam Al-Qur’an disebutkan, yang artinya, “Dan katakanlah: ‘Ya, Tuhanku, masukakanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (Al-Israa’ [17]: 80)

Kedua, bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan
Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka manusia diperintahkan untuk saling ta’aruf dan tolong-menolong sesuai peran yang diembannya. Tugas setiap diri adalah mengenali potensi yang dimilikinya untuk kemudian dijadikan modal dalam berusaha. Adakalanya seseorang mempunyai kelebihan fisik (tenaga), tetapi akal dan modal finansialnya terbatas maka ia dapat mengoptimalkan tenaga itu untuk bekerja. Allah Swt. berfirman artinya,

“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’ [17]: 84)

Ketiga, memilih pekerjaan yang baik dan halal meskipun sulit
Setiap tahun angka pengangguran di negara kita kian membengkak. Sulitnya mencari kerja menyebabkan sebagian dari saudara kita ada yang menempuh cara apapun untuk mendapatkan pekerjaan. Salah satunya dengan praktek KKN dan suap-menyuap yang bukan rahasia lagi.
Tetapi Islam menghendaki agar umatnya tetap selektif dalam mencari pekerjaan meski sulit. Pekerjaan yang baik dan halal lebih disukai meskipun hasilnya sedikit, daripada pekerjaan yang mendatangkan keuntungan banyak tetapi tidak halal. Karena keberkahan rizki yang kita terima tidak terletak pada banyak sedikitnya hasil. Namun terletak pada cara mencari dan untuk apa dipergunakan rizki itu.
Allah berfirman, artinya, “Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah [5]: 100)

Keempat, bekerja dengan sungguh-sungguh
Kesungguhan dan kerja keras sangat diperlukan dalam melakukan suatu pekerjaan. Bahkan dikatakan kesuksesan itu ditentukan oleh 1% bakat dan 99% kerja keras. Dengan kerja keras seseorang tidak akan cepat putus asa apabila gagal. Sebaliknya ia akan tetap bertahan dan mencoba langkah (metode) lain hingga berhasil.
Allah berfirman, artinya, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj [22]: 78)

Kelima, mengoptimalkan potensi diri yang ada
Untuk mengoptimalkan potensi diri diperlukan latihan yang terus-menerus. Karena umumnya seseorang tidak mengetahui seberapa besar potensi yang dimilikinya. Salah satu solusinya ialah dengan tidak takut untuk mencoba dan mencari pengalaman.
Allah berfirman, artinya, “Katakanlah: ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula).” (Al-An’aam [6]: 135)

Keenam, tidak setengah-setengah dalam bekerja
Melaksanakan pekerjaan yang sudah dipilih tidak boleh hanya sekenanya saja. Tetapi harus diusahakan agar mencapai hasil maksimal baik secara kwalitas maupun kwantitas. Karena Allah telah mencontohkan bagaimana Dia menciptakan dunia ini dengan sebaik-baiknya
Allah berfirman, artinya, “Yang membuat sesuatu Dia ciptakan sebaik-baiknya.” (As-Sajdah [32]: 7)
Dalam ayat lain, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Al-Qashash 28]: 77)

Ketujuh, bekerja dengan efektif
Dalam bekerja unsur efektifitas haruslah menjadi prioritas. Baik mengenai waktu, tenaga maupun pendanaan. Sebab segala sesuatu itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Untuk dapat lebih efektif dapat disiasati dengan menyusun rencana kerja yang matang sehingga segala sesuatunya dapat terlaksana dengan lancar.
Allah berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mukminun [23]: 3)

Kedelapan, melakukan evaluasi
Dalam suatu proses pekerjaan tentu tidak selamanya akan berjalan sesuai rencana yang kita inginkan. Untuk itu kita perlu melakukan evaluasi terhadap hasil dari apa yang telah kita kerjakan maupun apa yang belum bisa kita kerjakan. Agar kita bisa mengetahui faktor-faktor yang menghambat kerja kita. Sehingga kita bisa mencari solusi di masa yang akan datang.
Allah berfirman yang artinya, “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (Al-Hasyr [59]: 18).

Kesembilan, mengiringi setiap usaha dengan do’a
Bagi seorang muslim doa bukan saja merupakan sebuah permohonan tetapi juga dikatgorikan sebagai ibadah. Mengiringi kerja dengan doa merupakan formula yang efektif karen tanpa pertolongan Allah manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Kita hanya mampu berusaha sedangkan hasilnya Allah-lah yang menentukan.

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al-Mu’minun [40]: 60)

Itulah sebagian ajaran Islam mengenai etos kerja. Sekarang tinggal bagaimana kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Semoga berhasil! Wallahu ‘alam bi ashawab.

Senin, 11 Oktober 2010

KUTIPAN 2

“Allah memberi kemudahan kepada siapapaun yang dikehendaki, sebaliknya Allah juga menyesakkan dada orang yang tidak diberi petunjuk.”
- Ust. Joni Sudarsono -
Pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu, 15 Oktober 2009

“Rohani akan tercukupi dengan beriman, metaati perintah Allah dan melakukan kebajika-kebajikan, maka hidup ini akan terasa lebih indah.”
- Ust. Sukaryanto -
Pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu, 28 Oktober 2009

“Allah akan menjawab keinginan kita, lebih cepat dari yang kita duga.”
- Ust. Wahyudi, S. Ag. -
Pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu, 11 November 2009 (edisi spesial)

MENITI JALAN MENUJU TAKWA

Allah pun Telah Menjanjikan Kemenangan

Dalam salah satu firmanNya Allah dengan tegas telah berjanji, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf [7]: 96)
Lalu mungkin kita bertanya, mengapa umat Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim justru menjadi negara-negara yang tertinggal? Apakah ada yang salah dengan janji Allah tesebut?



Dalam kalamNya yang abadi, Allah juga berjanji, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath Thalaaq [65]: 2)

Dengan demikian semestinya umat Islam menjadi umat terbaik (khairu ummah). Mampu mengatasi rintangan dan cobaan yang dihadapi karena Allah telah menjamin adanya jalan keluar dari setiap kesulitan, memberi petunjuk dalam setiap kegelapan, menghadirkan ketenangan dalam setiap kegalauan.

Apakah Allah ingkar janji? Jawabnya jelas: Tidak! Karena Allah adalah Dzat yang selalu menepati janji. Jika sampai saat ini umat Islam masih terbelakang dan tertinggal dengan umat lain, boleh jadi kita sejatinya belum layak mendapat predikat takwa. Kita belum memenuhi persyaratan sebagai kaum yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah. Maka cara terbaik untuk mendapatkan pertolongan Allah adalah dengan perbaikan diri, keluarga, masyarakat dan umat, sehingga kita layak medapatkan pertolonganNya. Semakin jauh kita dari Allah, berarti pula kita menjauhkan diri dari pertolongan Allah.

Janji Allah dalam Al Quran tersebut juga tidak dimaksudkan untuk membuat umat Islam terbuai, lalu hanya berpangku tangan menunggu keadaan itu terjadi. Sebaliknya janji Allah tersebut harus menjadi pemacu bagi setiap Muslim untuk berbenah, berusaha mewujudkannya dengan suatu keyakinan bahwa setiap usaha yang dilakukan akan semakin mendekatkan terwujudnya apa yang telah Allah janjikan itu.

Jamaludin Al Afghani menyebut kelemahan umat Islam bukan terletak pada ajarannya. Tapi umatnya yang tidak mau belajar, statis, fatalis dan salah dalam memahami takdir yang membuat mereka tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Jamaludin berpendapat bahwa takdir (qadha dan qadhar) mengandung maksud sesuatu terjadi menurut sebabnya. Bukan terjadi dengan sendirinya. Dengan demikian manusia semestinya bersungguh-sungguh mengupayakn sebabnya.

Jika Kalian Bertakwa!
Berbagai keutamaan dan kebaikan akan diperoleh orang-orang yang menjadikan takwa sebagai hiasan diri. Mengiringi setiap lintasan bathin, mewarnai setiap tutur kata, dan mewujud dalam setiap tingkah laku.

Pertama, orang yang bertakwa akan dicintai oleh Allah, “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Ali 'Imran [3]: 76)

Kedua, ditunjukkan jalan keluar dari persoalan dan diberi rizki dari arah yang tak diduga. Allah berfirman, artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath Thalaaq [65]: 2-3)

Ketiga, tidak akan mudah terpedaya oleh tipu muslihat musuh, seperti disebutkan dalam Al Quran, “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali 'Imran [3]: 120)

Keempat, akan memperoleh petunjuk dan diampuni kesalahannya. “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al Anfaal [8]: 29)

Dalam Al Quran terjemahan Depag, furqaan dimaknai sebagai petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, dapat juga diartikan sebagai pertolongan.
Kelima, mendapatkan rahmat Allah. “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hadiid [57]: 28)

Keenam, memperoleh pahala dari sisi Allah, “Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 103)
Ketujuh, berhak mewarisi surga dengan segala kenikmatannya, “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (Maryam [19]: 63)
Dan tentu masih banyak lagi kebaikan-kebaikan yang telah disediakan Allah bagi orang-orang yang bertakwa.

Berupaya Menjadi Insan Bertakwa
Ada sebuah dialog menggetarkan. Ketika Allah bertanya kepada manusia. Kepada kita semua.
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?’” (Yunus [10]: 31)

Dalam firmanNya yang lain, Allah juga bertanya, “Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah pemilik langit yang tujuh, pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Maka katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?” (Al Mu’minun [23]: 84-87)

Menjadi insan yang bertakwa adalah keharusan setiap Muslim. Meskipun untuk mewujudkan tidaklah semudah mengucapkannya. Perlu proses dan usaha secara konsisten. Takwa adalah sebuah pilihan di antara pilihan lainnya. Orang yang tidak memilih ketakwan berarti ia mendekati kefasikan. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams [91]: 8-10)

Takwa menjadi pembeda derajat kedekatan seorang hamba dengan Rabbnya. Semakin tinggi derajat ketakwaannya berarti semakin tinggi pula kedudukannya dalam pandangan Allah. Seperti juga keimanan, ketakwaan tidak bisa diwariskan, tidak bisa diperjualbelikan pun dipaksakan. Tetapi ia muncul dari usaha seorang hamba, buah dari ibadah-ibadah yang dipersembahkan hanya untuk Allah. Karena sesungguhnya ujung dari ibadah itu adalah agar seorang hamba menjadi insan yang bertakwa.

Seorang mukmin diwajibkan berpuasa agar bertakwa. Seorang muslim yang melaksanakan qurban maka yang diterima adalah takwanya. Begitupun ibadah lainnya bermuara pada takwa. Amal saleh tanpa dibarengi ketakwaan bisa jadi tiada berguna.
"Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa." (Al A'raaf [7]: 171)

Dalam salah satu sabdanya Rasulullah menasehatkan, “Bertakwalah kepada Allah karena itu adalah kumpulan segala kebaikan, dan berjihadlah di jalan Allah karena itu adalah kerahiban kaum muslimin, dan berdzikirlah kepada Allah serta membaca kitabNya, karena itu adalah cahaya bagimu di dunia dan ketinggian sebutan bagimu di langit. Kuncilah lidah kecuali untuk segala hal yang baik. Dengan demikian kamu dapat mengalahkan setan.” (HR. Thabrani)
Kemudian, marilah kita berupaya terus meniti jalan menuju takwa. Sebab setiap helaan napas sejatinya adalah pertanda bahwa kita kian dekat dengan alam kubur. Bergantinya hari sesungguhnya menjadi peringatan bahwa jatah umur kita di dunia semakin berkurang. Maka alangkah beruntungnya orang yang mampu mengakhiri episode kehidupannya, dengan menjadi insan bertakwa.
Wallahu a’lam bi shawwab.
[3ko]

KUTIPAN 1

“Janganlah kita sekedar ‘cangkem soleh’, hanya pandai berbicara baik tetapi tidak disertai amal shaleh.”Ust. Nur Widodo
pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu (27 Mei 2009)


“Jangan jadi Islam abangan, pahami Islam dengan baik Bung!”

Ust. Jamil Rifanto

pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu (10 Juni 2009)

“Banyak orang lebih mudah menilai orang lain dari pada menilai dirinya sendiri.”
Ust. Sunu Tri Widodo

pada Fosimakis PCPM Minggir, Rabu (24 Juni 2009)

Sabtu, 09 Oktober 2010

KOKAM DAN PCPM MINGGIR ADAKAN LONGMARCH

KOKAM bersama PCPM Kecamatan Minggir, Sleman belum lama ini mengadakan longmarch ke Goa Kiskendo, Kabupaten Kulon Progo. Kegiatan ini digelar sebagai pemanasan secara fisik bagi para anggota KOKAM yang akan diterjunkan berpartisipasi dalam menyukseskan Muktamar satu abad Muhammadiyah. Kegiatan diikuti sekitar 25 anggota KOKAM dengan menempuh jarak sekitar 32 km menyusuri pegunungan menoreh. Rombongan berangkat dari kantor Redaksi Buletin Al Fajr (buletin PCPM Minggir), Nanggulan Sendangagung Minggir, dilepas oleh sekretaris PCM Minggir, Wawan Sutrisno, S. Ag.

Sementara di tempat tujuan, kegiatan diisi dengan taushiyah oleh Ust. Wahyudi, S. Ag. S.IP. anggota senior KOKAM Daerah Sleman. Dalam kesempatan itu disampaikan tentang betapa beratnya peristiwa hijrah yang pernah dilakukan Rasulullah, berjalan ratusan kilometer melintasi gurun dan bukit berbatu. Jauh lebih berat daripada longmarch tersebut. Sehingga kader-kader KOKAM diharapkan tidak mudah menyerah dan harus betul-betul menjaga kebugaran fisik. Menurut rencana KOKAM Kecamatan Minggir siap mengirimkan sekitar 15 anggotanya dalam kegiatan muktamar mendatang dan telah didaftarkan ke PWPM DIY.

Menata Gerak Dakwah di Kecamatan Minggir

Sejarah Dakwah Muhammadiyah

Sejarah dakwah di Kecamatan Minggir diwarnai dengan berbagai gejolak yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Pada tahun 1970-an sempat terjadi konversi agama secara besar-besaran seiring gencarnya program kristenisasi. Pada saat itu Minggir mengalami paceklik berkepanjangan sehingga sebagian besar penduduk yang mengandalkan hasil pertanian otomatis mengalami kekurangan pangan. Situasi semacam ini menjadi peluang bagi orang-orang non-muslim untuk menarik simpati dengan jalan membagikan uang, makanan dan pakaian.

Bantuan tersebut berasal dari Belanda yang didatangkan atas prakarsa Romo Tack. Langkah yang disusun secara rapi dan sistematis itu pun terus berlanjut. Orang-orang yang telah murtad kemudian dikumpulkan sebulan sekali untuk melakukan misa bersama. Bantuan semacam itu secara rutin diberikan dan bagi mereka yang berhasil memurtadkan orang Islam akan diberi tambahan.

Komposisi jumlah umat beragama mengalami perubahan mencolok. Sebelum adanya permurtadan diperkirakan jumlah umat Islam mencapai 95%, jumlah itu kemudian merosot menjadi sekitar 67%. Hal tersebut menimbulkan kesadaran sebagian umat Islam, termasuk Muhammadiyah untuk lebih serius menata gerakan dakwah di Minggir. (lihat di situs perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga)

Menurut data dari KUA Kecamatan Minggir per Januari 2007, dari 35.136 penduduk komposisi umat beragama di Minggir yakni, Islam sebanyak 26.082, Katholik 8.689, Kristen 769, Buda 4, dan Hindu 2. Sedangkan jumlah tempat ibadah yakni, Masjid 85, Musala 45, Langgar 14, Gereja 5, Kapel 1. Jumlah tersebut dapat dipastikan telah mengalami perubahan

Gerak Muhammadiyah di Kecamatan Minggir telah tumbuh menjadi ormas yang sangat berperan dalam dakwah Islam. Muhammadiyah telah memiliki lima ranting yang tersebar di setiap kalurahan. Lengkap dengan kepengurusan ortom (organisasi otonomnya) yakni, ‘Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiah.

Secara organisatoris Muhammadiyah Cabang Minggir resmi diakui pada tahun 1963 yakni dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1686/A tertanggal 23 Dzulhijjah 1382 H atau bertepatan dengan 17 Mei 1963. Sejak saat itu Muhammadiyah tersu bergerak, utamanya dalam menjaga ketahanan aqidah umat Islam dari rongrongan paham komunis yang disebarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kondisi semacam itu ditanggapi secara serius oleh Muhammadiyah dan menjalin kerjasama dengan Masyumi.

Saat ini Muhammadiyah Cabang Minggir memiliki amal usaha berupa sekolah-sekolah dari TK hingga SMA/SMK dengan rincian: 10 TK ABA, 8 SD, 2 SMP dan 1 SMA/SMK. Serta satu amal usaha baru berupa Kolam Renang ‘Tirta Edukasia’.

Dari segi jumlah keanggotaan secara pasti tidak ada data yang bisa menjadi rujukan. Bila melihat jumlah pencari nomor baku Muhammadiyah (NBM) sampai tahun 2006 tercatat sebanyak 1.305 orang. Tetapi hal itu tidak bisa menjadi patokan karena banyak di antara mereka mencri NBM semata untuk persyaratan mencari kerja. Sebaliknya banyak dari aktivis Muhammadiyah yang enggan mencari NBM. Jumlahnya mungkin mencapai ribuan. Itu semua menjadi modal luar biasa untuk menggerakkan dakwah di Minggir.

Saatnya Menata Gerak Dakwah

Sudah saatnya gerak dakwah di Minggir lebih ditata lagi agar bisa mencapai hasil maksimal. Banyak faktor yang selama ini nampaknya banyak dilupakan oleh para aktivis dakwah sehingga gerakan dakwah yang ada, meskipun banyak dan intens tetapi pencapainnya kurang efektif. Saat ini berbagai lembaga/organisasi dakwah terus berupaya bergerak melakukan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar. Sebut saja misalnya, Muhammadiyah (‘Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiah), Nahdhatul ‘Ulama (Muslimat, Anshar, Fatayat), P2A, Badko TPA, Badan Kesejahteraan Masjid (BKM), Forum Kajian Sabilul Muhtadin (FKSM), Remaja Masjid, dan organisasi dakwah lainnya.

Realitas yang ada menunjukkan mereka cenderung bergerak sendiri-sendiri dan terpisah. Sehingga terkadang menimbulkan beberapa problem yang semestinya bisa diminimalisir. Seperti, penumpukan program kerja, pelaksanaan kegiatan yang bersamaan (tidak terkoordinasi), sampai dengan penggarapan obyek dakwah yang sama. Padahal jika ada pembagian tugas dan tanggung jawab, tentu hasilnya akan lebih baik dan bisa menghemat energi serta pendanaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membuat gerak di Minggir lebih tertata:

Pertama, membuat peta dakwah. Tidak adanya peta dakwah yang jelas dan kurang pahamnya aktivis dakwah dengan medan perjuangan yang dihadapi tentu menimbulkan hambatan. Ibarat orang berjalan mereka tidak mengetahui seperti apa jalan yang akan dilalui. Sehingga sulit menentukan arah gerakan, skala prioritas, dan mempersiapkan ‘perbekalan’.

Perlu diketahui, menurut data 2006, Kecamatan Minggir memiliki luas 27.270 Ha, terbagi menjadi 5 kalurahan dan 68 dusun. Dengan jumlah tempat ibadah, Sendangagung (20 Masjid, 10 Musala, 2 Langgar, dan 3 Gereja), Sendangarum (11 Masjid dan 1 Kapel), Sendangmulyo (19 Masjid, 10 Musala, 9 Langgar, dan 1 Gereja), Sendangrejo (19 Masjid dan 17 Musala), dan Sendangsari (16 Masjid, 9 Musala, 3 Langgar dan 1 Gereja). (dok. 2007)

Kedua, Menentukan tujuan dakwah yang jelas. Menentukan tujuan sangat penting agar dakwah yang dilakukan tidak sekedar ‘wathon mlaku’ tanpa adanya target yang ingin dicapai. Padahal gerak dakwah amatlah luas dan rasanya sulit jika semuanya harus dicapai dalam sekali tempo. Perlu dibuat tujuan yang jelas agar memudahkan dalam membuat tahapan dakwah dan evaluasi untuk mengukur proses dakwah yang dilakukan berhasil atau belum.

Ketiga, Mencari sumber dana yang kontinyu. Salah satu pilar penopang kegiatan dakwah adalah tersedianya dana yang cukup. Untuk itu perlu digagas adanya sumber dana yang dapat diandalkan secara rutin guna membiayai kegiatan dakwah. Potensi yang ada sebetulnya cukup luar biasa. Dengan jumlah umat Islam lebih dari 26 ribu, misal saja setiap orang diharuskan membayar infak Rp 1000, setiap bulan maka dana yang terkumpul akan mencapai 26 juta!

Dalam hal ini Badan ‘Amil Zakat (BAZ) tingkat kecamatan yang telah lama terbentuk semestinya bisa berperan aktif berusaha mengupayakan agar umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat, infak dan shadaqah demi mendukung gerakan dakwah di Kecamatan Minggir.

Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (Ash Shaafaat [37] : 1-4)

Sebagai penutup, marilah kita berupaya mengefektifkan gerak dakwah di Kecamatan Minggir. Gerak dakwah yang bukan sekedar gerak. Namun gerak yang tertata. Karena seperti nasihat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, kemunkaran yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak tertata.

Wallahu a’lam bi shawwab

Kamis, 07 Oktober 2010

Menulis Mengasah Ketajaman Hati dan Pikiran



“Segala sesuatu awalnya kelihatan berat dan sukar. Wajarlah jika banyak yang gugur di permulaan. Menyerah pada kenyataan. Kecuali orang-orang luar biasa yang memiliki cadangan motivasi lebih.”

Bagi banyak orang menulis dianggap sebagai suatu perkerjaan yang sulit. Sebagian lagi menganggap remeh. Tidak penting. Padahal bila kita cermati. Mau tidak mau, suka tidak suka, banyak dari kita yang akan selalu berhadapan dengan pekerjaan tulis-menulis. Mulai dari membuat tugas sekolah seperti laporan atau makalah. Hingga tugas akhir, skripsi (S1), Tesis (S2) dan Desertasi (S3) bagi mahasiswa. Selamat Datang di Dunia Jurnalistik Harus kita akui, tradisi menulis kalah populer dibanding dengan tradisi berkomunikasi dengan lisan (bicara). Mungkin kita akan betah mengobrol selama berjam-jam. Tetapi ketika disodori pena dan selembar kertas untuk menulis, kita merasa kesulitan. Bingung. Mengapa? Bukankah apa yang kita omongkan bisa kita ubah menjadi bentuk tulisan?

Yang Penting Motivasi!
Jawabnya tentu beragam. Memang dapat kita katakan bahasa lisan sangat berbeda dengan bahasa tulis. Tapi ini kita abaikan dulu. “Motivasi adalah proses aktualisasi sumber penggerak dan pendorong tingkah laku individu memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.” Demikian definisi motivasi menurut ilmu psikologi. Sebelum menulis coba tentukan dulu apa alasan yang mendasari kita membuat tulisan. (Alm) Mohammad Diponegoro memberikan beberapa contoh yang biasa menjadi alasan seseorang untuk menulis. Antara lain, mencari ketenaran (karena namanya akan dikenal) dan sebagai jalan mencari nafkah. Di Indonesia mungkin menulis memang belum bisa dijadikan sandaran hidup. Karena honor yang diterima penulis masih relatif kecil. Minat baca di negeri kita yang rendah menjadi salah satu penyebabnya. Berbeda dengan di luar negeri.

Sekedar contoh—untuk lebih memotivasi—kamu pasti kenal dengan JK. Rowling penulis serial Harry Potter yang kesohor itu. Ditaksir kekayaan yang dimilkinya melebihi kekayaan Ratu Elizabeth! Menulis Itu Bakat? Selamat!! Kalau kamu berpikiran demikian berarti kamu juga berbakat. Bukankah sejak kelas TK atau kelas satu SD kamu sudah pandai menulis? Mula-mula kita hanya mengenal satu dua huruf dan kesulitan untuk merangkainya. Tapi sekarang lihatlah betapa pintarnya kita menyusun kalimat-kalimat yang panjang. Apalagi saat menulis surat atau sekedar curhat ma someone (Maklum jatuh cinta!).

Thomas Alva Edison bilang, keberhasilan ditentukan 1% bakat dan 99% kerja keras. Tidak heran bila Edison yang dianggap dungu dan sempat dikeluarkan dari sekolah pada akhirnya mampu mengejutkan dunia dengan berbagai penemuannya. Menulispun demikian. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana ia mengembangkan dirinya untuk menjadi penulis. Yakinlah kamu pasti… BISA!

Menulis Itu Gampang-Gampang Susah Arswendo Atmowiloto yang sempat bikin heboh dengan hasil surveinya—karena menempatkan dirinya sebagai tokoh paling digemari di atas Nabi Muhammad Saw.—mengatakan bahwa: Menulis itu gampang. Karuan saja pernyataan itu banyak mendapat protes. Toh ia memang seorang penulis yang tentu sudah piawai dalam membuat sebuah tulisan. Lha kita? Hee... Tapi untuk menarik minat calon penulis pernyataan di atas memang ada benarnya.. Coba pikir, dibilang gampang saja masih banyak yang enggan menulis apalagi dibilang susah. Jangan-jangan tidak ada yang minat. Menulis memang pekerjaan yang gampang-gampang susah. Pada awalnya mungkin kita kesulitan karena bahasa tulis berbeda dengan bahasa lisan. Dalam bahasa lisan kita hanya berpikir bagaimana menyampaikan informasi (pesan) yang kita punya agar orang lain faham. Bahasa yang digunakan pun sangat bebas dan bervariasi tanpa menghiraukan aturan yang ada. Sedangkan dalam bahasa tulis. Kita dituntut menggunakan tanda baca yang pas dan pemilihan kata (diksi) yang tepat. Agar pesan yang kita tulis dapat dipahami secara mudah dan jelas. “Menulis berbeda dengan berbicara. Agar efektif, menulis menuntut si penulis mengungkapkan gagasannya secara tertib dan tertata,” kata Mas Hernowo, seorang penulis sekaligus editor Grup Mizan. Tetapi lambat laun. Tanpa kita sadari kemampuan ini akan terasah bila kita membiasakan diri untuk menulis. Sambil membaca hasil tulisan kita berulang-ulang. Lalu bandingkan dengan tulisan hasil karya orang lain yang dianggap lebih baik. Menulis Sambil Berenang Bisakah? Ada pepatah mengatakan: Sambil menyelam minum air. Tapi mungkinkah berenang sambil menulis? Entahlah. Tapi maksud saya bukan begitu. Ahmad Munif, seorang penulis novel yang cukup produktif (ehm..ehm..beliau juga dosen saya lho) mengibaratkan aktifitas menulis seperti berenang. Seorang yang baru belajar renang boleh saja menguasai segala macam teori tentang renang. Tetapi teori yang dikuasainya itu tidak akan berguna bila ia tidak pernah mecoba terjun ke kolam renang. Jadi syarat utama menjadi penulis ialah praktek membuat tulisan. Sekali lagi PRAKTEK. U understand? Kebiasaan bagus yang bisa kita lakukan untuk mempermudah meningkatkan kemampuan menulis yakni membuat Catatan Harian. Dalam buku Cathar itu kita bisa mengekspresikan segala apa yang kita rasakan setiap hari dalam bentuk tulisan. Jangan ragu lagi. Tulis…tulis…dan tulis…Nah…kamu sudah jadi penulis! Melatih Ketajaman Hati dan Pikiran Afwan. Sorry. bagi kamu-kamu yang punya prinsip ‘cuex is the best’ saya persilakan untuk bilang ‘Selamat Berpisah’ dengan dunia tulis menulis. Dunia penuh warna, tantangan, dan rahasia-rahasia mengejutkan. Penulis adalah seorang intelektual yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dengan realitas yang ada. Ia tergelitik dan tergerak bila melihat fenomena yang menyimpang dari kaidah dan tata nilai yang ada. Ia ingin agar orang lain juga tahu penyimpangan tersebut. Sehingga mampu menangkalnya. Tidak pelak untuk menjadi penulis harus siap membuka pancaindera dengan selebar-lebarnya. Mengamati peristiwa-peristiwa yang ada. Lalu menakarnya dengan hati. Kira-kira itu sesuai dengan norma yang ada gak ya? Sudah itu putarlah akal untuk mencari solusi yang mungkin bisa diterapkan. Tuangkan ide itu dalam tulisan agar orang lain bisa mengaksesnya. Di sinilah hati akan semakin sensitif melihat realitas. ‘You don’t care?’ but I not. Pikiran menjadi lebih aktif untuk berpikir. Bukan saja bagi diri sendiri. tetapi juga bagi orang lain. Ingat: Bukan hanya untuk diri sendiri. Sayang kan bila kapasitas kecerdasan yang kita miliki hanya dinikmati sendiri. Egois banget! Kata Rasul, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.”

Menjelajah Dunia Ide.
Tulisan hakikatnya merupakan ide yang dibahasakan lewat tulisan. Sebagian lagi berupa fakta yang sistematika penyajianya menurut selera penulis. Di sini juga menuntut adanya ide. Yang bagus jika ide itu belum pernah dikemukakan orang lain. Cerdas. Tepat sasaran dan mampu ‘menggerakkan’. Hingga tulisan terasa lebih hidup. Artinya penulis mesti punya stok ide yang memadai. Atau setidaknya punya cadangan biji-biji informasi yang bisa disemai menjadi ide. Konsekuensinya, orang yang ingin menulis mesti rajin-rajin mengumpulkan informasi dengan cara melihat, mengamati dan yang penting membaca! ‘Iqra’’, kata Jibril. Membaca menjadi hal wajib bagi seorang yang ingin menjadi penulis. Ibarat penampungan air. Sebelum mengalirkan air mesti diisi dulu. Tetapi pengisiannya pun harus selektif. Agar yang keluar nantinya juga sesuatu yang bermanfaat. (Harap tahu aja sekarang banyak buku ‘berbau Islam’ dan buku-buku best seller yang bisa meracuni aqidah kita. Misalnya?) BTW. Perbanyaklah membaca. Dan temukan ide-ide cemerlang. Ingat tulisanmu bisa mengubah dunia.

Copryght: Eko, Sambirejo, 06 Agustus 2005

Disampaikan Pada: Ekstra Jurnalistik SMP N 4 Prambanan Oleh:: Eko Triyanto Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga
Pemimpin Redaksi Al_Kahfi Newsletter dan Buletin Al Fajr

Rabu, 06 Oktober 2010

Ulama yang 'Alim

Tidak diragukan lagi, posisi ulama dalam Islam mendapat tempat yang istimewa. Mereka karena kelebihan ilmunya menjadi panutan umat. Memberi pencerahan sekaligus merintis jalan keteladanan. Terlebih di tengah gelombang globalisasi yang diliputi budaya permisif dan lunturnya nilai-nilai moral seperti saat ini kehadiran ulama sangat dibutuhkan.

Rasulullah menyatakan kedudukan ulama melebihi ahli ibadah, “Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban
Ulama yang dimaksud di sini adalah ulama yang ‘alim. Ulama yang memang paham mengenai ilmu agama, tidak sekedar hafal. Dengan kepahamannya itu mampu memunculkan kebijaksanaan dan solusi alternatif terhadap permasalahan yang dihadapi umat. Bukan justru memanfaatkan ilmu yang dimiliki demi meraup keuntungan pribadi atau golongan. Kepiawaian dalam berbicara bukanlah tolok ukur utama dalam menilai ulama yang ‘alim. Karena bisa jadi kemampuan yang demikian justru membuatnya begitu bebas membolak-balik kata sesuai keinginan pribadinya. Sinyalemen demikian pernah diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud.
“Sesungguhnya kalian berada di sebuah zaman di mana jumlah ulamanya sangat banyak dan sedikit tukang khutbahnya, dan sesungguhnya akan datang sebuah zaman yang sangat banyak jumlah tukang khutbahnya namun sedikit ulamanya.”
Sekarang kita butuh ulama yang ‘alim. Yang tidak hanya pintar dalam berkhutbah, namun juga paham ilmu agama dan mampu mengaplikasikan ke-fakihan-nya dalam realitas nyata. Wallahu’alam bi shawwab.

oleh: Eko Triyanto

Blog Al Fajr Kembali Aktif


Pembaca yang yang kami hormati,
Blog Al Fajr insyaAllah akan kembali aktif dan akan kami up date secara berkala. Bagi Anda yang tidak mendapatkan edisi cetak, Anda bisa membaca artikel di blog ini. Bahkan beberapa artikel yang tidak diterbitkan dalam edisi cetak karena terbatasnya space akan berusaha kami posting dalam blog ini. Dalam hal ini pergantian admin kami lakukan karena Sdr. Ferry Setiawan, sekarang telah bekerja dengan intensitas kesibukan yang padat. Bagi Anda yang ingin mengirim artikel, kritik, saran, silakan alamatkan ke: alfajr@telkom.net. Sekian terima kasih.

Melebarkan Sayap

Bagi para pembaca yang ingin berpartisipasi dalam penerbitan Buletin Al-Fajr ini baik berupa iklan, donasi, artikel, saran dan kritik dapat menghubungi alamat redaksi.
Akhirul kalam, Selamat membaca !!!
(Atau E-mail ke: alfajr@telkom.net / mrperie@yahoo.com)