Yang ada hanyalah pada-Nya
Carilah cinta yang hakiki
Yang hanya pada-Nya yang Esa
Carilah cinta yang abadi
Yang ada hanya pada-Nya
Carilah kasih yang kekal selamanya
Yang ada hanyalah pada Tuhanmu
(Raihan, Carilah Cinta)
Ibrahim Khalilullah
Ibrahim adalah kekasih Allah. Seperti tersurat dalam QS An Nisa’ [4]: 125, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Dialah nabi yang mendapat gelar khalilullah. Itu semua disematkan kepada Nabi Ibrahim karena beliau telah mampu melewati berbagai ujian yang berat. Ujian terhadap keimanannya. Ujian terhadap kadar cintanya kepada Allah. Ibrahim mampu memposisikan kecintaannya kepada Allah di atas segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi.
Awalnya, untuk menemukan Sang Kekasih, Ibrahim mesti melewati proses pencarian yang panjang. Ia berusaha mengenal Sang Kekasih di tengah kepungan adat kaumnya yang saat itu menyembah berhala. Semula ia menganggap bintang sebagai Tuhan. Lalu bulan dan matahari. Tapi masing-masing hilang berganti seiring berputarnya waktu. Sampai akhirnya ia berkesimpulan, Kekasih yang ia cari adalah pencipta dari bintang, bulan, matahari dan alam semesta ini. Begitulah, cinta itu tumbuh melalui pencarian melelahkan, tapi dari sanalah keimanan itu menjadi berkesan dan terpatri dalam hati.
Melewati Berbagai Ujian
Saat kebenaran sudah ia dapatkan. Ujian demi ujian datang silih berganti. Sang Kekasih ingin menguji kadar kecintaan Ibrahim. Seperti juga iman yang tak sempurna tanpa amaliyah. Cinta pun butuh pembuktian. Cinta perlu pengorbanan! Mula-mula Ibrahim diuji harus berpisah dengan keluarga. Ayahnya, Adzar, yang saat itu masih menyembah berhala tetap enggan beriman bahkan memberikan suatu pilihan pahit, “Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam [19]: 46)
Ibrahim harus memilih, berkumpul dengan keluarga dalam kekafiran, atau pergi membawa keimanan. Dengan penuh haru, opsi kedualah yang dipilih: berpisah dengan keluarga. Cinta kepada Allah telah mengalahkan kecintaannya kepada keluarga.
Waktu bergulir. Seiring keimanan yang tumbuh subur dalam jiwa. Kecerdasan seorang Ibrahim pun terus berkembang. Hingga satu ketika dengan penuh keberanian, ia berusaha menghancurkan lambang kekafiran kaumnya. Ia robohkan semua berhala yang biasa disembah pada masa itu, kecuali satu. Sengaja ia memilih berhala yang paling besar agar tetap utuh dan dikalunginya dengan kapak. Saat kaumnya dengan penuh kemarahan mengintrogasi Ibrahim, ia berucap, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara." (Al Anbiyaa' [21]: 63)
Itulah jawaban seorang pemuda yang memadukan keimanan, keberanian dan kecerdasan. Lebih dari itu, dalam peristiwa tersebut Ibrahim telah siap mengorbankan diri dan jiwanya demi kecintaannya kepada Allah. Ibrahim paham betul resiko dari apa yang ia lakukan. Tapi cinta kepada Allah telah menghapus segala ketakutan itu. Pengorbanan dan cinta itu kemudian dibalas tunai oleh Sang Kekasih, yang tidak rela Ibrahim dianiaya,
“Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” ( Al Ankabut [29]: 24)
Ujian terhadap kecintaan kepada Sang Kekasih terus berlanjut meskipun telah memasuki bahtera rumah tangga. Pernikahan pertamanya dengan Sarah, belum juga diberi keturunan. Padahal usianya telah menginjak senja. Tanpa putus asa dia terus berdoa. Memohon kepada Sang Kekasih Yang Maha Kaya. Sampai tibalah ia harus menikah dengan Hajar. Dari Hajar inilah kemudian Allah mengamanahkan seorang anak yang shaleh bernama Ismail. Ismail tumbuh menjadi pemuda yang beriman. Menjadi harapan untuk melanjutkan estafet dakwah dan penyeru kebenaran. Saat kecintaan dan kebahagiaan itu mencapai puncak. Sang Kekasih kembali ingin menguji kadar cinta Ibrahim. Turunlah perintah melalui mimpi, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (Ash Shaaffaat [37]: 102)
Dan Ismail, sang putra yang shaleh itu menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash Shaaffaat [37]: 102)
Sebuah percakapan yang memilukan. Tetapi sekali lagi cinta itu bekerja. Kekuatan cinta kepada Allah sanggup mengalahkan segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi. Keimanan mampu melumpuhkan tipu daya setan, kesabaran bisa menundukkan hawa nafsu. Ismail pun dikurbankan. Tetapi kembali, Sang Kekasih, yang telah menyaksikan pengorbanan Ibrahim sebagai bukti kadar kecintaannya, menunjukkan kemurahan-Nya. Ismail diganti dengan ghibas. Peristiwa tersebut kemudian diperingati tiap tahun dalam bentuk penyembelihan hewan qurban. Selain itu Nabi Ibrahim juga diberi kelebihan yakni menjadi bapak para nabi, karena banyak dari keturunan beliau yang kemudian diangkat menjadi nabi, antara lain Ismail, Ishak sampai Musa dan Muhammad Saw.
Hakikat Qurban dan Kemauan Berbagi
Kisah Ibrahim dan Ismail menjadi tonggak awal disyariatkannya qurban. Lambang kemenangan iman atas hawa nafsu. Kemengan cinta kepada Allah atas cinta kepada selainNya.
Qurraba, itulah asal kata dari qurban yang bermakna mendekat. Mendekat kepada Allah. Mendekat kepada pemilik semua nikmat dengan cara menafkahkan sebagian dari rizki yang kita cintai dalam bentuk binatang qurban. Hewan yang kita qurbankan hanyalah sarana menuju kedekatan itu. Ia tidak bermakna apa-apa saat kita meniatkannya hanya untuk tujuan-tujuan jangka pendek yang bersifat duniawi. Ketenaran, penghormatan, sanjungan dan puja-puji dari sesama manusia. Apalagi sekedar ‘program perbaikan gizi’. Karena sesungguhnya yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah qurban itu, namun ketakwaan. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj [22]: 37)
Qurban harus dilandasi takwa. Sebagai wujud kepatuhan kepada perintah Allah serta bentuk kesyukuran atas karunia Allah yang tak berputus. Inilah hakikat qurban secara vertikal, dalam mewujudkan hablum minallah. Kedekatan hamba dengan Sang Pencipta.
Selain itu, qurban juga melatih kepedulian. Mengajak kepada manusia agar bersedia berbagi. Karena berbagi itu terangkan hati. Berbagi itu investasi tak kenal rugi. Tabungan amal yang suatu saat akan terbalas. Ibadah qurban mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama. Mempertajam kepekaan sosial. Di sinilah hakikat qurban secara horizontal sebagai bagian membumikan hablumminannas. Keharmonisan hubungan antar sesama manusia.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al Hajj [22]: 28)
Bila dengan qurban itu, seorang hamba mampu memupus hawa nafsu yang selalu mengajak untuk mencintai dunia secara berlebihan, berarti ia telah mampu membuktikan kadar ketakwaannya. Bila dengan qurban itu seorang hamba kemudian lebih peka terhadap keadaan sosial dan kondisi saudaranya, itu pertanda ia sudah bisa mengerti hakikat qurban sesungguhnya. Tanpa itu semua, qurban hanya akan menjadi rutinitas tiap tahun tanpa ruh dan tanpa makna.
Khatimah
Episode demi episode cinta yang telah dijalani Nabi Ibrahim menjadi bukti hakikat cinta yang sejati. Cinta tak berakhir. Cinta yang pasti terbalas sempurna, bahkan lebih dari apa yang telah diberikan. Cinta yang tidak menyisakan kecewa, apalagi kepedihan. Itulah cinta Allah. Cinta di atas cinta. Dan semestinya begitu seorang Mukmin menjalaninya.
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At Taubah [9]: 24)
Jika di hatimu ada cinta, dengarkanlah seruan dari Sang Kekasih Yang Maha Sempurna. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Al Kautsar [108]: 2)
Wallahu a’lam bishawwab
Dialah nabi yang mendapat gelar khalilullah. Itu semua disematkan kepada Nabi Ibrahim karena beliau telah mampu melewati berbagai ujian yang berat. Ujian terhadap keimanannya. Ujian terhadap kadar cintanya kepada Allah. Ibrahim mampu memposisikan kecintaannya kepada Allah di atas segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi.
Awalnya, untuk menemukan Sang Kekasih, Ibrahim mesti melewati proses pencarian yang panjang. Ia berusaha mengenal Sang Kekasih di tengah kepungan adat kaumnya yang saat itu menyembah berhala. Semula ia menganggap bintang sebagai Tuhan. Lalu bulan dan matahari. Tapi masing-masing hilang berganti seiring berputarnya waktu. Sampai akhirnya ia berkesimpulan, Kekasih yang ia cari adalah pencipta dari bintang, bulan, matahari dan alam semesta ini. Begitulah, cinta itu tumbuh melalui pencarian melelahkan, tapi dari sanalah keimanan itu menjadi berkesan dan terpatri dalam hati.
Melewati Berbagai Ujian
Saat kebenaran sudah ia dapatkan. Ujian demi ujian datang silih berganti. Sang Kekasih ingin menguji kadar kecintaan Ibrahim. Seperti juga iman yang tak sempurna tanpa amaliyah. Cinta pun butuh pembuktian. Cinta perlu pengorbanan! Mula-mula Ibrahim diuji harus berpisah dengan keluarga. Ayahnya, Adzar, yang saat itu masih menyembah berhala tetap enggan beriman bahkan memberikan suatu pilihan pahit, “Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam [19]: 46)
Ibrahim harus memilih, berkumpul dengan keluarga dalam kekafiran, atau pergi membawa keimanan. Dengan penuh haru, opsi kedualah yang dipilih: berpisah dengan keluarga. Cinta kepada Allah telah mengalahkan kecintaannya kepada keluarga.
Waktu bergulir. Seiring keimanan yang tumbuh subur dalam jiwa. Kecerdasan seorang Ibrahim pun terus berkembang. Hingga satu ketika dengan penuh keberanian, ia berusaha menghancurkan lambang kekafiran kaumnya. Ia robohkan semua berhala yang biasa disembah pada masa itu, kecuali satu. Sengaja ia memilih berhala yang paling besar agar tetap utuh dan dikalunginya dengan kapak. Saat kaumnya dengan penuh kemarahan mengintrogasi Ibrahim, ia berucap, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara." (Al Anbiyaa' [21]: 63)
Itulah jawaban seorang pemuda yang memadukan keimanan, keberanian dan kecerdasan. Lebih dari itu, dalam peristiwa tersebut Ibrahim telah siap mengorbankan diri dan jiwanya demi kecintaannya kepada Allah. Ibrahim paham betul resiko dari apa yang ia lakukan. Tapi cinta kepada Allah telah menghapus segala ketakutan itu. Pengorbanan dan cinta itu kemudian dibalas tunai oleh Sang Kekasih, yang tidak rela Ibrahim dianiaya,
“Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” ( Al Ankabut [29]: 24)
Ujian terhadap kecintaan kepada Sang Kekasih terus berlanjut meskipun telah memasuki bahtera rumah tangga. Pernikahan pertamanya dengan Sarah, belum juga diberi keturunan. Padahal usianya telah menginjak senja. Tanpa putus asa dia terus berdoa. Memohon kepada Sang Kekasih Yang Maha Kaya. Sampai tibalah ia harus menikah dengan Hajar. Dari Hajar inilah kemudian Allah mengamanahkan seorang anak yang shaleh bernama Ismail. Ismail tumbuh menjadi pemuda yang beriman. Menjadi harapan untuk melanjutkan estafet dakwah dan penyeru kebenaran. Saat kecintaan dan kebahagiaan itu mencapai puncak. Sang Kekasih kembali ingin menguji kadar cinta Ibrahim. Turunlah perintah melalui mimpi, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (Ash Shaaffaat [37]: 102)
Dan Ismail, sang putra yang shaleh itu menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash Shaaffaat [37]: 102)
Sebuah percakapan yang memilukan. Tetapi sekali lagi cinta itu bekerja. Kekuatan cinta kepada Allah sanggup mengalahkan segala kecintaan terhadap kesenangan duniawi. Keimanan mampu melumpuhkan tipu daya setan, kesabaran bisa menundukkan hawa nafsu. Ismail pun dikurbankan. Tetapi kembali, Sang Kekasih, yang telah menyaksikan pengorbanan Ibrahim sebagai bukti kadar kecintaannya, menunjukkan kemurahan-Nya. Ismail diganti dengan ghibas. Peristiwa tersebut kemudian diperingati tiap tahun dalam bentuk penyembelihan hewan qurban. Selain itu Nabi Ibrahim juga diberi kelebihan yakni menjadi bapak para nabi, karena banyak dari keturunan beliau yang kemudian diangkat menjadi nabi, antara lain Ismail, Ishak sampai Musa dan Muhammad Saw.
Hakikat Qurban dan Kemauan Berbagi
Kisah Ibrahim dan Ismail menjadi tonggak awal disyariatkannya qurban. Lambang kemenangan iman atas hawa nafsu. Kemengan cinta kepada Allah atas cinta kepada selainNya.
Qurraba, itulah asal kata dari qurban yang bermakna mendekat. Mendekat kepada Allah. Mendekat kepada pemilik semua nikmat dengan cara menafkahkan sebagian dari rizki yang kita cintai dalam bentuk binatang qurban. Hewan yang kita qurbankan hanyalah sarana menuju kedekatan itu. Ia tidak bermakna apa-apa saat kita meniatkannya hanya untuk tujuan-tujuan jangka pendek yang bersifat duniawi. Ketenaran, penghormatan, sanjungan dan puja-puji dari sesama manusia. Apalagi sekedar ‘program perbaikan gizi’. Karena sesungguhnya yang sampai kepada Allah bukanlah daging atau darah qurban itu, namun ketakwaan. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al Hajj [22]: 37)
Qurban harus dilandasi takwa. Sebagai wujud kepatuhan kepada perintah Allah serta bentuk kesyukuran atas karunia Allah yang tak berputus. Inilah hakikat qurban secara vertikal, dalam mewujudkan hablum minallah. Kedekatan hamba dengan Sang Pencipta.
Selain itu, qurban juga melatih kepedulian. Mengajak kepada manusia agar bersedia berbagi. Karena berbagi itu terangkan hati. Berbagi itu investasi tak kenal rugi. Tabungan amal yang suatu saat akan terbalas. Ibadah qurban mengajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama. Mempertajam kepekaan sosial. Di sinilah hakikat qurban secara horizontal sebagai bagian membumikan hablumminannas. Keharmonisan hubungan antar sesama manusia.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al Hajj [22]: 28)
Bila dengan qurban itu, seorang hamba mampu memupus hawa nafsu yang selalu mengajak untuk mencintai dunia secara berlebihan, berarti ia telah mampu membuktikan kadar ketakwaannya. Bila dengan qurban itu seorang hamba kemudian lebih peka terhadap keadaan sosial dan kondisi saudaranya, itu pertanda ia sudah bisa mengerti hakikat qurban sesungguhnya. Tanpa itu semua, qurban hanya akan menjadi rutinitas tiap tahun tanpa ruh dan tanpa makna.
Khatimah
Episode demi episode cinta yang telah dijalani Nabi Ibrahim menjadi bukti hakikat cinta yang sejati. Cinta tak berakhir. Cinta yang pasti terbalas sempurna, bahkan lebih dari apa yang telah diberikan. Cinta yang tidak menyisakan kecewa, apalagi kepedihan. Itulah cinta Allah. Cinta di atas cinta. Dan semestinya begitu seorang Mukmin menjalaninya.
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At Taubah [9]: 24)
Jika di hatimu ada cinta, dengarkanlah seruan dari Sang Kekasih Yang Maha Sempurna. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Al Kautsar [108]: 2)
Wallahu a’lam bishawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar